Orang Betawi mengklasifikasikan penganjur agama ke dalam criteria pertama adalah Guru yaitu ulama yang mempunyai keahlian dalam suatu disiplin ilmu tertentu, mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa dan memiliki kemampuan mengajar kitab. Seorang Guru biasanya menghabiskan seluruh waktuya di masjidnya saja, yang lazimnya di dekat masjidnya itu berdir kompleks madrasah. Guru tidak keluar dari lingkungannya karena orang-oranglah yang mendatanginya. Kriteria berikutnya adalah Mualim. Seorang mualaim itu mempunyai otoritas untuk mengajarkan kitab tetapi belum belum memiliki otoritas mengeluarkan fatwa. Seorang mualim mendatangi kelompok-kelompok pengajian untuk mengajarkan kitab. Kriteria ketiga adalah ustadz. Ustadz mengakarkan ilmu pengetahuan dasar agama termasuk membaca al-Quran.
Guru Mansur, Jembatan Lima (1878-1967)
Guru Mansur dari Kampung Sawah, Jembatan Lima adalah seorang Guru sejati. Beliau dapat dikatakan satu generasi dengan Guru Mugni dari kampung Kuningan. Kedua tokoh ini pada zamannya disebut orang Betawi sebagai paku Jakarta. Generasi Guru Mansur merupakan pelanjut ulama Betawi generasi Guru Mujtaba dari kampung Mester. Guru Mujtaba Mester adalah syaikhul masyaikh, guru dari segala guru.
Guru Mansur juga mempunyai hubungan biologis dengan trah Mataram dari garis ayah dapat ditemukan hubungan tersebut. Guru Mansur adalah putera Imam Abdul Hamid bi Imam Muhammad Damiri bin Imam Habib bin Abdul Mukhit. Abdul Mukhit adalah pangeran Tjokrodjojo Tumenggung Mataram.
Pada tahun 1894, Guru Mansur berangkat ke Mekkah ketika berusia 16 tahun bersama ibunya. Beliau tinggal di Mekkah selama 4 tahun untuk menuntut ilmu. Beliau berguru kepada Tuan Guru Umar Sumbawa. Beliau juga berguru kepada Guru Mukhtar, Guru Muhyiddin, Syekh Muhammad Hayyath. Selain itu Guru Mansur juga berguru denganSayyid Muhammad Hamid, Syekh Said Yamani, Umar al Hadromy dan Syekh Ali al-Mukri.
Setelah mukim selama 4 tahun, Guru Mansur kemudian kembali ke tanah air dengan terlebih dahulu singgah di Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan Singapura. Sekembalinya di kampung halamannya, Guru Mansur mulai membantu ayahnya mengajar di madrasah Kampung Sawah. Sejak tahun 1907, beliau mengajar di Jamiatul Khair, Kampung Tenabang. Di sinilah belia mulai mengenal tokoh-tooh Islam seperti Syekh Ahmad Syurkati dan KH Ahmad Dahlan yang juga anggota perkumpulan Jamiatul Khair.
Guru Mansur adalah pengajur kemerdekaan Indonesia. Beliau menyerukan agar bangsa Indonesia memasang atau mengibarkan bendera merah putih. Beliau menyerukan persatuan umat dengan slogannya yang terkenal, rempuk! Yang artinya musyawarah (perkataan ini kemungkina besar maksudnya sama dengan rembuk). Beliau menuntut agar hari Jum’at dinyatakan sebagai hari libur bagi umat Islam. Pada tahun 1925 tatkala masjid Cikini di Jalan Raden Saleh hendak dibongkar dan pembongkaran ini disetujui oleh Raad Agama (pengadilan agama) Guru Mansur melancarkan protes keras sehingga akhirnya pembongkaran masjid tersebut dibatalkan.
Pada tahun 1948 tatkala kota Jakarta berada dalam kekuasaan de facto Belanda, Guru Mansur sering berurusan dengan Hoofd Bureau kepolisian di Gambir karena beliau memasang bendera merah putih di menara masjid Kampung Sawah. Meskipun di bawah ancaman bedil NICA/Belanda, Guru Mansur tetap mempertahankan Sang Saka Merah Putih yang berkibar di menara masjid.
Guru Mansur pernah dibujuk kaki tangan Belanda agar mengubah sikapnya yang konfrontatif terhadap Belanda dan sebaliknay diminta agar menurut saja apa yang dikehendaki Belanda seraya disodorkan setumpuk uang kepadanya, namun bujukan itu ditolak mentah-mentah oleh Guru Mansur. Dengan suara lantang, Guru Mansur berkata, “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”.
Beliau adalah Guru yang amat dihormati bukan saja oleh masyarakat Betawi tetapi juga oleh kalangan yang lebih luas. Tokoh-tokoh Betawi seperti M. Natsir dan KH. Isa Anshary sering sekali berkunjung ke kediaman Guru Mansur. Baik M. Natsir maupun KH. Isa Anshary bila berkunjung ke kediaman Guru Mansur ditemani oleh Lurah Tanah Sereal M. Ramdhan.
Di masa hidupnya, Guru Mansur telah menulis 19 buku berbahasa Arab yaitu:
- Sullamunnarain
- Khulasatuljadawil
- kaifiyatul amal ijtima, khusuf wal kusuf
- Mizanul I’tidal
- Washilatuth thullab
- Jadwal dawairul falakiyah
- Majmu’ arba rasail fi mas’alatil hilal
- Rub’ul mujayyab
- Mukhtasar iktima’unnairain
- Tajkirotun nafi’ah fisihati ‘amalissaum wal fitr
- Tudhul adillah fissihatissaum wal fitr
- Jadwal faraid
- Al lu’lu ulmankhum fi khulasoh mabahist sittah ulum
- I’rabul jurumiyah annafi’ lil mubtadi
- Silsilatissanat fiddin wa ittisoluha sayyidul musalin
- Tashriful abwal limatan bina
- Jidwal kiblat
- Jidwal au kutussolah
- Tathbiq amalul ijtima’ wal khusuh wal kusuf
Sumber:
Ridwan Saidi, 1997, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, Dan Adat Istiadatnya, PT. Gunara Kata, Hal: 200-206
- copas dari -
0 Komentar:
Post a Comment